Harapan
Semua berawal dari gempa bumi Jayapura Januari 2023, kalau tidak salah
itu dua tahun yang lalu, tepatnya 2 Januari 2023. Aku berada di depan layar
monitor bersama Kang Teul saat gempa bumi M4.9 menerjang, membuka rentetan
ribuan gempa setelahnya. Situasi ini memaksa Pemerintah Kota Jayapura
menetapkan status Tanggap Darurat pada 9 Februari, menyusul gempa bumi M5.4
pada hari itu yang merobohkan sebuah kafe di Dok II, Jayapura Utara.
Sebagai analis geofisika saat itu, hari-hariku penuh dengan rutinitas
kerja yang sibuk, bahkan mungkin kurang tidur selama masa tersebut. Pelajaran
untuk bertindak tepat di tengah situasi kacau akibat bencana terserap baik,
meski tak selalu sempurna seperti yang diharapkan. Namun, setidaknya pengalaman
itu membuka wawasan baru: bencana alam selalu menjadi pengingat bahwa
masyarakat Indonesia belum sepenuhnya tangguh menghadapi bencana.
Sejak saat itu, sosialisasi terkait gempa bumi semakin digencarkan,
terutama di pelosok-pelosok Indonesia. Alam memang tidak pernah bisa ditebak
kapan akan meluapkan amarahnya dalam bentuk bencana.
Masih di bulan yang sama, ajakan melanjutkan pendidikan di Selandia
Baru datang dari temanku, Adinda. Awalnya, dia hanya memintaku untuk
menemaninya mendaftar beasiswa Manaaki New Zealand (MNZS) karena kebetulan kami
bekerja di instansi yang sama. Aku masih ingat bagaimana aku mengebut menulis
esai hanya beberapa hari sebelum batas pendaftaran. Kala itu, aku juga sedang
menjalani sif bersama Kang Teul. Air mataku menetes saat menulis esai,
mengenang bencana dan harapan yang tumbuh dalam setiap peristiwa.
Kutuliskan, "meningkatkan kapasitas diri agar dapat
lebih berguna bagi masyarakat Indonesia."
Waktu berlalu, dan aku berhasil lolos menjadi salah satu awardee MNZS
2023. Aku harus mengikuti pembekalan bahasa Inggris selama lima bulan di Bali.
Banyak hal lucu terjadi selama proses seleksi beasiswa ini, mulai dari tes
psikometri malam-malam di rumah tanpa diketahui, hingga berangkat diam-diam ke
Jakarta untuk tes IELTS. Ada satu kejadian lucu, ketika sedang melakukan
panggilan video dengan keluarga, keponakan yang berada di Jakarta tiba-tiba
muncul di layarku. Orang tuaku yang melihatnya sontak terkejut, “Bukannya
kemarin malam kamu masih di Jayapura?” Saat itu juga, aku meminta restu untuk
mengikuti seleksi beasiswa luar negeri.
Aku memang sempat merahasiakan proses seleksi beasiswa ini dari orang
tua. Bukan karena egois, tetapi karena aku tidak ingin membuat mereka sedih
jika aku memutuskan melanjutkan studi jauh dari pangkuan bumi pertiwi. Kini,
aku di sini, di tempat matahari terbit di dunia, melangkah lebih jauh demi
harapan seseorang atau kerumunan.
Baiklah, beberapa paragraf tadi hanya kilas balik sebelum cerita
intinya haha jadi sebenarnya ini enak diobrolin sambil nyantai minum kopi di
balkon rumah kayu ujung timur New Zealand. Lain kali kita lakukan yang begitu
dan silakan membaca tulisanku…
Sebelum itu, mari kita pisahkan harapan dan alasan. Apakah kalian pikir
melakukan sesuatu itu perlu alasan atau harapan? Jika dipandang dari kacamata
si optimis, harapan cenderung mendorongnya untuk melakukan sebuah aksi.
Sementara bagi si realistis, alasan menjadi dasar yang kokoh untuk melangkah,
seperti kata dasarnya, “alas”.
Pada kebanyakan perjalanan, aku lebih sering mencari harapan. Ia bak
bahan bakar yang memberi kekuatan untuk berkelana meski jalannya terlihat
seperti tiada ujung. Setelahnya, alasan baru datang sebagai bentuk pembenaran
atas apa yang telah kujalani. Percayalah tidak ada yang sia-sia di dunia ini,
bahwa daun yang gugur pun memiliki tugasnya.
Sebagai manusia, kita seharusnya tidak perlu memikirkan alasan apapun
untuk memulai sebuah langkah karena melakukan kebajikan adalah bawaan pabrik
kita. Pertanyaannya bukan lagi "mengapa kita harus melangkah," tetapi
"apa yang akan kita perbuat untuk membuat langkah itu berarti."
Harapan, bagi diriku, adalah alasan untuk terus bergerak di masa sekarang.
Meski ketika menulis ini aku sedang kehilangan harapan, namun aku akan
menemuinya, mungkin setengah jam setelah menulis, besok, satu tahun kemudian,
ataupun entah kapan. Aku tahu akan menemukannya kembali, lalu kehilangannya. Berulang
seperti itu terus hingga nanti akhirnya aku usai juga.
Perjalanan hidup, entah ke mana arahnya, selalu lebih bermakna dengan
harapan. Maka, aku berharap semua orang selalu bisa memiliki harapan di setiap langkahnya.
Tidak peduli seberapa panjang atau rumit kisahmu nanti, harapan akan membuat semua
itu lebih berarti. Ingatlah, fans Liverpool terus berkata, "next year is
our year" selama 30 tahun untuk merayakan piala liga Inggris. Harapan
bukan hanya menunggu, melainkan menghidupkan usaha dan mimpi. Jadi, mari belajar
dari yang sudah terjadi, lalu melakukan yang terbaik hari ini. Percayalah masa
depan masih suci dan harapan adalah bumbu rahasia untuk menjalaninya dengan
unik dan penuh makna. Temukan dan jalani dengan caramu sendiri.
Comments
Post a Comment