Bukan Quarter Life Crisis


25 tahun, quarter life crisis.

Apa iya, akan ada yang lebih berat dari 4 tahun lalu?

Apa harus bersiap? Apa yang harus disiapkan?

4 tahun lalu, aku jatuh, isi kepala penuh. Amarah sering berkecamuk. Masa itu memang masa di mana aku belajar rasa. Rasa bahagia, senang, penat, lelah, putus asa, kecewa, dan dikhianati.

 

Masalahnya tidak sepelik masalah orang-orang, hanya aku yang sulit mengatasinya kala itu.

 

Pikiran terbagi-bagi, perasaan pun terbagi. Aku menilai diriku berani, aku pun sudah siap menerima konsekuensinya. Namun, Tuhan mengirimkan pembatas yang membuatku harus bersabar. Emm mungkin lebih tepatnya bukan bersabar, tapi hanya tidak bereaksi karena makian tetap aku lontarkan di dalam hati.

Yah waktu tetap berjalan, orang-orang pun berjalan. Sudah cukup aku tertekan dahulu. Tidak bisa bercerita maupun berkeluh kesah membagikan beban karena terikat tanggung jawab.

Kala itu aku belum mengenal stoik. Namun, untuk kelulusanku, aku berikan yang terbaik dan tanggung jawab terlepas. Aku pun membulatkan tekad agar dapat melangkah sesuka hati. Aku berani menghilang, juga berani memutus hubungan.

Entah, apa yang aku katakan, yang aku lakukan. Dua tahun adalah waktu yang tidak terelakan untuk release. Sambil berjalan waktu aku belajar mengenai stoik, fokus pada hal yang bisa dikontrol, di luar itu tidak usah dipikirkan. Tidak dipungkiri, aku hanya punya 2 tangan 2 kaki 2 mata, mana mungkin bisa mengatur dunia sesuai mauku, mengatur perilaku orang terdekat pun aku tidak bisa.

 

Andai dahulu aku sudah mengenal stoik, mungkin aku bisa mengatasinya lebih mudah.

 

Kini sudah berjalan 4 tahun, aku menjadi lebih bersyukur jika melihat kondisiku di masa lalu. Apalagi setelah aku membaca suratku dari masa lalu untuk diriku sendiri. Ingin sekali aku membagikan postingan yang memperlihatkan kebahagian dan capaian yang sudah diperoleh. Ingin memamerkan kepada mereka yang menjatuhkanku.

Namun, Tuhan memberikan batasannya lagi, membuatku berpikir ulang karena mungkin kesombongan sedang menyelimutiku.

 

Tidak ada gunanya seperti ini.

Kalau ingin bahagia, bahagialah.

Bahagia itu untuk dirimu, bukan untuk orang lain.

Hanya ingin terlihat Bahagia itu bukan benar benar Bahagia.

 

Kini aku menjalani hidup dengan usahaku yang belum seutuhnya menganut stoik, tapi memang stoik membuatku lebih baik.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Lingkungan Sekitar

Chapter XXICXXIX: Lelaki