Pangrango, belajar Zero Waste




Pada awalnya cerita pendakian ini hanya diinisiasi oleh satu orang. Kenapa? Salah satunya karena manusia itu suka nyampah, semakin banyak manusia ke alam tanpa modal ilmu pengetahuan semakin banyak pula jalur penyebaran sampah dari peradaban ke alam.

Cerita pendakian selalu diawali dengan sebuah panggilan, setidaknya itu dariku. Entah itu dalam wujud ajakan, keinginan, atau apapun yang tiba-tiba muncul tanpa rencana. Jadi biasanya rencana dibuat  setelah panggilan. Unik memang.


 “Kalau tidak ada tujuan tidak mau naik. Kalau tidak zero waste tidak mau naik. Kalau rame tidak mau naik. Kalau jalur gunungnya udah kasian tidak mau naik.”

-miftah

 

Belajar zero waste sebelum naik. Harus zero waste ketika naik. Berawal dari ide itu, karena aku juga masih belajar makanya personil dalam pendakian ini bertambah satu. Akmal, orang yang sudah terbiasa berkehidupan minimalis karena terpaksa keadaan juga keinginan. Satu tujuan, jangan jadi parasit berkedok kepecintaan alam.

Dari Akmal, kita rombak semua barang yang berpotensi sampah. Tisu kita ganti jadi kain serbet. Plastik logistik kita ganti dengan botol reuseable. Botol plastik kita ganti jerigen. Roti-coklat kita kasih wadah tupperware. Pokoknya semua yang berpotensi sampah kita ganti dengan 3R, Revolusi Revolusi Revo honda! Maksudnya Reduce, Reuse, Recycle.



 

Apakah semudah dan semulus itu untuk belajar zero waste? Jawabannya ya tidak dong. Ada aja yang belum perfek karena baru memulai, seperti serbet yang lupa naruh di mana, jerigen yang bocor karena ditenteng sampai Mandalawangi, minyak beku di botol kaca.

Nah masalah minyak itu hampir bakar tenda. Kok bisa? Jadi gini, ketika masak aku melihat minyak membeku di botol kaca, karena Akmal sedang sibuk mengabadikan Surya Mandalawangi dengan swafoto, inisiatif konyol adalah memanasi botol kaca di kompor, di dalam tenda, dan dengan tutup botol terpasang rapat. DUUAAARRRR NMEX! Entah kenapa minyak bisa menyala dan merambat ke pintu tenda. Ketika itu serbet akhirnya nampak dan api tidak jadi membesar. Setelah padam kecolongan minyak, baru sadar ternyata bukan serbet tapi sarungnya si Akmal.

Beruntung ketika dia datang, api sudah padam. “Omelet dengan nasi enak ready”, kataku sambil mengalihkan perhatiannya dari sarung di pojokkan tenda.


Comments

  1. Bagus banget mas ceritanya. Aku sukaa💚
    Lanjutkan terus!😊😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih banyak, jika tertarik mungkin kita dapat berafiliasi
      always happy to create a good story, please send us an email if you like ((:

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Lingkungan Sekitar

Bukan Quarter Life Crisis

Chapter XXICXXIX: Lelaki