Rezeki/Nikmat

 


Beberapa hari belakangan, aku mulai memikirkan tentang keadaan finansial. Memang, aku bukan seorang pengusaha yang terbiasa menghadapi naik-turun pemasukan atau mahir memikirkan likuiditas keuangan. Namun, memahami manajemen keuangan adalah salah satu ilmu mendasar untuk hidup di era digital, di mana uang (gajimu) ditransfer dan disimpan dalam bentuk elektronik. Perkembangan teknologi yang pesat memungkinkan semua itu terjadi. Dalam pengalamanku, karena uang tidak dipegang secara fisik, ia sering kali mengalir deras tanpa pemberitahuan pun tujuan vocvocvoc (re: ketawa khas akuntan)

Oleh karena itu, ilmu tentang manajemen keuangan sangatlah penting. Meski tidak harus terlalu mendetail, sekadar melamunkan prioritas atau membuat daftar pengeluaran sudah cukup. Intinya, kamu memegang kendali atas ke mana hartamu bermanfaat, tentunya dengan kebijakan yang tepat.

Di sini tidak akan dituangkan tips-tips untuk mengatur keuangan agar tidak boncos di akhir bulan. Tulisan ini hanyalah keresahan yang terlintas saat aku melamun di balkon belakang apartemenku di Selandia Baru. Ya, aku adalah seorang pekerja korporat yang kini mengambil cuti belajar sebagai mahasiswa di ujung dunia.

“Jika Tuhan sudah mengatur rezeki untuk semua makhluk di dunia ini, mengapa aku harus mengintervensinya?”

Pertanyaan tersebut seperti datang dari langit yang secara bersamaan menggugatku yang memikirkan harus beli apa belanja nanti. Untuk menjawabnya, mungkin kita perlu melihat apa saja rezeki yang sudah kita dapatkan. Tubuh sehat, udara yang menghidupkan, air segar, satu kardus roti gratis dari Manis Bakery, atau langit dengan lembayung senja yang menjadi hiburan tanpa biaya. Dari contoh-contoh tersebut, aku mulai bertanya, “apakah ada peranku di sana?”

Coba kita lihat tubuh sehat. Beruntunglah mereka yang dianugerahi fisik yang matang tanpa perlu olahraga intens, tetapi bisa jadi sebenarnya pola hidup merekalah yang menjaganya tetap ideal. Contoh lain, udara dan air segar, apakah ada peranmu di dalamnya? Bisa jadi! Haha jawaban diplomatis macam apa ini. Air mungkin bersih karena kita tidak membuang sampah sembarangan, atau udara lebih segar karena mobil yang kita gunakan adalah Hyundai Ionic 5, meski agak kurang relevan di Indonesia dengan fosil sebagai sumber energi listriknya. Intinya, apa yang kita terima sering kali adalah hasil dari apa yang kita usahakan. Lalu aku kembali mempertanyakan, apakah rezeki adalah semata-mata hasil usaha kita? Kalau begitu, bagaimana dengan peran Tuhan?

"Nikmat adalah rezeki yang kau usahakan."

Begitulah bunyi status WhatsApp seorang ibu pegawai negeri sipil daerah yang biasa mengunggah kata-kata bijak setelah melakukan absensi sebelum mulai bekerja. Tanpa basa-basi aku langsung menelepon beliau dan menanyakan maksudnya apa? *berapi-api sambil membawa obor dan garpu taman* haha bercanda. Pembicaraan itu memberiku sudut pandang baru.

Tuhan memang sudah mengatur rezeki untuk semua makhluk di dunia ini secara adil. Aku rasa kita sudah sepakat bahwa adil tidak selalu berarti sama rata. Oleh karenanya, apakah orang yang sehat sejak lahir bisa menikmati tubuhnya lebih dari orang yang harus berjuang untuk itu? Jawabannya: diplomatis lagi awokwokw tergantung penggunaannya. Bayangkan tubuh sehat yang hanya digunakan untuk bermalas-malasan. Sama saja, tidak akan bisa dinikmati. Sama halnya dengan orang kaya yang tidak bahagia dengan harta bendanya. Katanya, “uang tidak bisa membeli kebahagiaan.” Klise yang sering membuat kita gemas dan ingin menamparnya dengan segepok uang 2M (bukan Makasih Mas) pecahan 1000 rupiah. Balik lagi, mungkin uang tidak digunakan untuk hal yang bermakna. Ada mitos perkopian yang agaknya mirip dengan kasus ini.

“Kopi akan lebih nikmat kalau dibagi.”

Mari kita umpamakan, kamu adalah seorang petani kopi dengan kebun seluas 6 hektare, tetapi seluruh pohon di kebun itu tidak pernah kamu rawat. Mungkin kebun tersebut adalah warisan turun-temurun yang sudah ada sejak tujuh generasi sebelum kamu yang setelah panen, semua kopi hanya kamu timbun untuk mencukupi kebutuhanmu seumur hidup. Lantas, apakah betul semua itu akan kamu nikmati? Bayangkan, luas lahan yang hanya memberikan pemandangan pohon kering tanpa kehidupan, atau kopi segudang yang hanya dikonsumsi sendiri. Memang, tanpa usaha merawat kebun, kamu tidak akan pernah bisa memanen. Lain halnya jika titik awal perjalananmu adalah memanen hasil, maka langkah berikutnya yang kamu ambil akan menentukan seberapa besar nikmat yang bisa kamu rasakan.

Kini, aku mengerti maksud ucapan ibuku. Rezeki sudah ada takarannya dari Sang Pencipta yang kasih dan sayang-Nya meliputi seluruh alam semesta tanpa pandang bulu. Namun, nikmat adalah hal yang lain, tiap-tiap rezeki yang kita usahakan. Seminimalnya hanya bersyukur, kita akan menikmati rezeki tersebut. Ini bukan tentang perkara kerangka berpikir karena perlu usaha untuk merealisasikannya. Apa pun itu, yang tidak kita usahakan, sebanyak apa pun jumlahnya, tetap tidak akan kita nikmati. Contoh lagi, udara yang kaya oksigen dari fotosintesis pohon-pohon dan alga di laut. Sekarang kau nikmati atau dustai?



Comments

Popular posts from this blog

Tentang Lingkungan Sekitar

Bukan Quarter Life Crisis

Chapter XXICXXIX: Lelaki